Aku duduk di belakang, kamu pegang kemudi. Kamu tidak laju, tidak juga lambat. Aku menarik jaketmu seperti biasa. Makin kencang kalau ada truk menyalip, atau mobil jalan sekelebat.
Aduh itu rambutmu menampar-nampar mukaku. Aku kesal mulanya. Tapi esok dan esoknya rambutmu akan tetap begitu hingga menguap sendiri jengkelku.
Kamu tahu kan aku gemar membaui apa saja. Aku suka diam-diam menghirup bau rambutmu. Lagi-lagi diawali oleh kesalnya aku. Karena kamu keramas pakai shampoo yang kubenci. Tapi sekarang senang kuhirup curi-curi.
TAK! Itu kamu dan helmmu yang sengaja bikin aku kaget. Dipikirnya kepala disundul tidak sakit apa? Aku balik membalas. Dan kamu lakukan lagi, aku balas kembali. Begitu seterusnya sampai lampu jalanan tahu ketololan kita.
Kiri, kanan, atau lurus? Tanyamu di tiap persimpangan. Aku selalu menjawab sekenanya. Habis aku bilang kiri, kamu bilang lurus, lalu aku lagi yang tentukan arah, kemudian kamu, lalu aku, begitu terus sampai dekat tujuan.
Sini aku beri tahu sesuatu. Di jalan pulang, aku suka memilih rute yang berkelok-kelok dengan jarak yang jauh-jauh. Bukannya tidak mau cepat sampai tujuan. Aku tidak mau perjalanan ini cepat selesai.